Selasa, 07 Agustus 2012

my avatar di eRepublik

Rabu, 29 Juni 2011

SUKUH : Misteri Piramida Terpenggal di Gunung Lawu

S I N O P S I S

S

elasa, 26 Februari 2008, Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg, Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso, dan Penerima Nobel Perdamaian 2004, Wangari Maathai dari Kenya, berkumpul di satu titik di gunung es Kepulauan Svalbard-Norwegia, yang jaraknya sekitar 1100 kilometer dari pusat Antartika. Mereka menghadiri peresmian “Svalbard Global Seed Vault Project”, senilai US$9,1 juta, yang didanai Global Crop Diversity Trust—lembaga FAO (Food and Agriculture Organization) dan Biodiversity Internasional yang berbasis di Roma-Italia. “Svalbard Global Seed Vault” merupakan bangunan raksasa yang dikenal sebagai Doomsday Vault (Kubah Kiamat).

Kubah Kiamat dibangun di dalam perut bumi, di kedalaman 127,5 meter di perut sebuah gunung es di Kepulauan Svalbard-Norwegia, dekat ujung utara bola dunia. Kubah ini akan menyimpan cadangan bibit dari ratusan bank benih dari seluruh dunia, hingga terkumpul 4,5 juta sampel benih. Menurut keterangan resmi, Kubah Kiamat ini hanya menyimpan benih tumbuhan dan hewan, namun dicurigai, “Bahtera Nuh Abad Millenium” ini juga menyimpan benih manusia pilihan guna menghadapi bencana besar yang diyakini bakal menimpa bumi di masa depan.

Tahta Suci Vatikan berada di belakang pembangunan Kubah Kiamat tersebut. Sudah puluhan tahun, secara diam-diam, Tahta Suci Vatikan mempersiapkan diri untuk menghadapi nubuatan akhir zaman.

Specola Vaticana—Badan Observatorium Tahta Suci Vatican—yang berpusat di Roma, telah lama melakukan pengamatan pergerakan benda langit untuk mengantisipasi tanda-tanda datangnya akhir zaman. Mereka menempatkan ribuan orangnya untuk mengamati benda-benda langit ini dari berbagai belahan penjuru dunia, baik yang ditempatkan di badan observatorium milik pemerintah suatu negara atau pun atas nama lembaga penelitian independen. Yang tidak diketahui umum, pos-pos pengamatan yang tersebar di banyak titik di dunia itu selalu berada di lintasan Leylines.

Monica, Doktor Filsafat dari Milan University, telah enambulan terakhir bekerja mengamati langit malam di sekitaran Candi Sukuh dan Cetho. Perempuan tegap yang masih betah melajang di usia yang hampir menyentuh kepala empat ini, baru bergabung dengan Specola Vaticana setahun lalu dan langsung menawarkan diri begitu ada misi penelitian di Tanah Jawa.

Tanpa diketahui Monica, proyek bernama “Planeta Asterai” ini bukan sekadar mengamati benda langit, namun juga menjadi bagian dari proyek global dalam pemetaan koordinat Leylines guna menentukan Vortex Energi yang diyakini mampu membuka pintu langit. Vatikan tidak mau kecolongan dalam mengantisipasi akhir zaman. Mereka tahu, ada satu kelompok elit dunia yang juga melakukan hal serupa guna menyambut turunnya The Beast, musuh nomor satu dari Mesiah, sebagaimana yang telah dinubuatan dalam Kitab Wahyu 13: 16-18,

Dan ia menyebabkan, sehingga kepada semua orang, kecil atau besar, kaya atau miskin, merdeka atau hamba, diberi tanda pada tangan kanannya, atau pada dahinya, dan tidak seorang pun yang dapat membeli atau menjual selain daripada mereka yang memakai tanda itu, yaitu nama binatang itu atau bilangan namanya. Yang penting disini alah hikmat: Barangsiapa yang bijak, baiklah ia menghitung bilangan binatang itu, karena bilangan itu adalah bilangan seorang manusia dan bilangannya adalah: 666

Vatikan tahu, ini peperangan abadi, antara kebaikan melawan kejahatan, antara cahaya melawan kegelapan, antara prajurit tuhan melawan tentara iblis. Vatikan tahu, musuh mereka selama berabad-abad berlindung di balik dinding benteng yang sangat rapat, kokoh, dan misterius: Illuminaty.

Namun satu yang tidak diketahui Vatikan. Profesor Monica ternyata diumpan oleh musuh mereka dan dimanfaatkan demi kepentingannya. Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti penyingkapan berbagai misteri di sekitar Candi Sukuh, Cetho, Penataran, dan Pusat Mistis Tanah Jawa secara keseluruhan terkait dengan misteri Illuminaty, Leylines, dan Vortex Energi. [rizki ridyasmara]

Jumat, 04 Juni 2010

ANGGODO VS BIBIT – CHANDRA, MAU KEMANA?

Kemenangan Anggodo berturut – turut di pengadilan negeri dan Pengadilan Tinggi atas kasus penyuapan pejabat Negara KPK Bibit – Chandra yang telah dihentikan oleh Kejaksaan Agung atas rekomendasi Presiden yang juga direkomendasikan oleh Tim 8 bentukan Presiden, serta acara – acara Talkshow dan diskusi di media – media saat ini, membuat saya tergelitik untuk menulis komentasi – analisis sederhana ini.

Saya bukan salah satu pendukung dari pihak – pihak yang berseteru. Saya bukan pendukung fanatic Bibit – Chandra apalagi pendukung Anggodo. Saya hanya orang awam awam yang mencoba berdiri pada sudut objektivitas sebuah permasalahan.

Sekilas melihat kebelakang bagaimana Kasus ini terangkat ke permukaan adalah tidak lain adalah pengembangan dari Kasus Pembunuhan yang dikatakan melibatkan Antasari sebagai Komandan KPK dimana Bibit dan Chandra sebagai salah dua dari 4 wakil ketuanya.

Dari catatan yang di dapat di Antasari itu Polisi mengembangkan Kasus baru yaitu kasus Penyuapan Pejabat KPK oleh Big Boss MASARO Anggoro yang dilakukan melalui perantaraan Anggodo adiknya.

Setelah melalui proses yang bisa dikatakan seru karena tidak hanya melibatkan pihak – pihak yang berseteru tapi juga tekanan dari masyarakat dan Media sampai muncul sebuah Group di Jejaring Sosial (Facebook) untuk mendukung Bibit – Chandra akhirnya Presiden membentuk Tim 8 yang pada akhirnya mengeluarkan rekomendasi bahwa Kasus ini Tidak cukup Bukti. Yang pada akhirnya membuat Presiden memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menghentikan pengusutan kasus ini dengan alasan sosiologis bahwa jika kasus ini dteruskan akan dapat mengancam integritas lembaga KPK sebagai lembaga elit pemberantasan Korupsi yang selama ini menjadi Jargon Presiden saat kampanye.

Di khawatirkan pula jika kasus ini diteruskan akan mempengaruhi kepercayaan Masyarakat kepada KPK yang selama ini sudah sangat dipuja – puja oleh rakyat atas keberhasilannya mengungkap kasus – kasus korupsi yang melibatkan pejabat Negara (anggota – anggota DPR).

Kasus ini memang berakhir anti klimaks dengan turunnya Keputusan Jaksa Agung untuk menghentikan kasus ini padahal sebelumnya Jaksa Agung dengan gagah mengatakan bahwa bukti – bukti yang didapat memperkuat keterlibatan kedua pejabat teras KPK itu benar – benar terbukti menerima suap dari Anggoro melalui Anggodo.

Presiden pun merehabilitasi mereka yang sebelumnya sempat diberhentikan dari KPK dengan mengembalikan posisi mereka kembali sebagai pejabat Teras Lembaga Prestisius KPK. Dan pengadilan menyatakan bersalah kepada Anggodo melakukan penyuapan dan harus dihukum kurungan badan

Sekarang Anggodo melakukan perlawanan dengan mengajukan banding kasus yang tanpa diduga – duga dia mendapat kemenangan berturut – turut baik di Pengadilan Negeri maupun di tingkat Banding

Keadaan pun kembali memanas setelah belum lama ini di didinginkan dngan kasus Bank Century dan Wistle Blower Susno Duaji dengan kasus Gayusnya dan Arwana.

Kembali Dunia Hukum kita mengalami ujian…

Dari sini saya melihat atau paling tidak melihat adanya kejanggalan – kejanggalan yang terjadi. Adapun kejanggalan tersebut antara lain:

1. Bukankah seharusnya jika kasus Penyuapan Bibit – Chandra dihentikan dengan alas an tidak cukup bukti seperti yang direkomendasikan Tim 8 kepada Presiden, mengapa anggodo tetap dinyatakan bersalah melakukan penyuapan? Bukti mana yang digunakan. Bukankah dalam kasus penyuapan syaratnya harus ada transaksi antara penyuap dan yang disuap? Dan bukankah keduanya dinyatakan bersalah di depan hukum?

Jika Bibit dan Chandra dinyatakan tidak terbukti menerima suap (menurut Tim 8) lalu Anggodo menyuap siapa? Mengapa hanya dia yang dihukum? Apakah ini model keadilan di Indonesia?

2. Alasan lain penghentian kasus Penyuapan Bibit – Chandra antara lain adalah factor sosiologis (diajukan oleh Tim 8 dan digunakan dalam SK penghentian Pengusutan Jaksa Agung)

bahwa jika kasus ini diteruskan maka dikhawatirkan akan melemahkan KPK dalam memberantas Korupsi dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga KPK sebagai Garda depan pemberantasan Korupsi di Republik ini.

Mendengar alas an ini yang selalu dikumandangkan dengan menggebu – gebu oleh para pakar hokum, membuat saya berpikir bahwa hokum diIndonesia ini dengan mudah di intervensi oleh seluruh pihak di republic ini. Baik dari Elit , Media bahkan sekelompok orang yang mengatas namakan rakyat.

Kenapa saya bisa berpikir begitu, kita ambil saja Group di FB “Sejuta Dukungan untuk Bibit – Chandra”. Saya Tanya Beberapa teman yang ikut mendukung group ini lebih di karenakan mereka mendapat Share dari teman dan tidak enak dengan yang mengundang jika tidak ikut.
Sebagian lagi karena sudah terpengaruh oleh media TV tanpa mengerti kasusnya.

Dan lagi apakah 1 juta ditambah tanggapan – tanggapan di media bisa dianggap sudah mewakili seluruh rakyat dewasa di Republik ini?

Kalau Bibit – Chandra maju dalam peradilan kasusnya dapat melemahkan KPK? Ini juga pertanyaan besar di otak saya, Bagaimana dengan Antasari yang justru Komandannya KPK? Kenapa tidak dihentikan juga kalau itu alasannya. Bahkan lebih memungkinkan menghentikan kasus Antasari jika itu menjadi alas an. Bukankan kasus Penyuapan Bibit – Chandra justru terkait mereka sebagai Pejabat Teras KPK. Apa kata Dunia jika yang memberantasnya dapat disuap.

Pertanyaan selanjutnya, apakah KPK sebegitu lemahnya hingga hanya tergantung kepada ke dua orang tersebut? Apakah tidak ada lagi orang di Indonesia ini yang mampu menggantikan mereka? Apakah mereka benar – benar manusia super di lembaga super sehingga tidak tergantikan?

Kepercayaan rakyat tidak akan jatuh jika KPK sebagai Institusi (bukan individu – individu didalamnya) dapat menjaga kepercayaan dan tetap menjaga integritasnya sebagai lembaga Pemberantasan Korupsi.
Bukankah justru dengan “Intervensi” Presiden dapat menjadi boomerang dengan adanya “Barter” dan “Balas Jasa”? bukankah ini malah integritas KPK patut dipertanyakan?

3. Anggodo = Mafia Kasus?. Kekuatan Media memang benar – benar dapat mempengaruhi audiensnya.

Saya ingat sekali yang menyatakan Anggodo sebagai mafia kasus adalah media – media karena anggodo dianggap membantu Anggoro dalam menyelesaikan kasus MASARO atas tuduhan mark up dan korupsi pengadaan radio telekomunikasi di salah satu Kementerian.

Saya tidak melihat latar belakang Anggodo yang menurut media sarat dengan kegelapan. Saya hanya melihat dalam kasus ini adalah suatu kewajaran Anggodo membantu Anggoro.loh kok? Lah iya wajar karena Anggodo adalah adik Anggoro.

Bukankah wajar seorang adik mencoba membantu kakaknya ketika kakaknya mendapat masalah?

Sekarang bandingkan dengan seorang istri mantan pejabat polisi yang menyuap anggota dewan untuk kepentingan seseorang yang nota bene tidak ada hubungan keluarga. Nah itu baru MARKUS…

Jika definisi ini dipakai, saya yakin hampir seluruh orang dinegara ini adalah MARKUS (mungkin termasuk saya) Kakak membantu Adik, Adik membantu Kakak, Ponakan membantu saudara, dan lain – lainnya

Dari ocehan saya ini saya hanya dapat mengurut dada, bahwa betapa amburadulnya hukum di Indonesia. Saya hanya dapat berdoa dan berharap untuk tidak berurusan dengan hukum di Republik Tercinta ini.

Sekedar masukan untuk Bapak Bibit dan Bapak Chandra,

jika Bapak – bapak yakin tidak bersalah sebaiknya Bapak –bapak tidak perlu gentar menghadapi kasus ini. Anggaplah dengan dibukanya kembali kasus ini sebagai kesempatan Bapak – Bapak membuktikan apa yang selama ini Bapak – Bapak perjuangkan dapat di buktikan di depan Hukum, sehingga tidak ada lagi keraguan.

Senin, 03 Mei 2010

CATATAN KECIL SETELAH PELATIHAN ASKOM BNSP


Saat saya diminta oleh sebuah LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) untuk mengikuti Pelatihan Asesor Kompetensi yang di selenggarakan oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) timbul pertanyaan dalam diri saya; Apa pentingnya sih sebuah Profesi mendapat sertifikasi Kompetensi? bukannya Kompeten atau tidaknya seseorang adalah dari pengakuan masyarakat?

Pertanyaan lain adalah apakah Kompetensi yang di standardisasikan tidak akan mematikan kreatifitas?

Pertanyaan - pertanyaan tersebut terjawab secara pelan - pelan saat mengikuti pelatihan...

jawaban pertama yang saya dapatkan adalah standarisasi yang dilakukan bersifat Flexible sesuai dengan konsep VRFF (Valid - Reliable - Flexible - Fairness) dalam prisip - prinsip assesment, sehingga standardisasi tersebut akan terus berkembang tetapi tetap dengan asas - asas yang minimal requirement dalam suatu jenis pekerjaan.

sedangkan untuk menyatakan seseorang kompeten memang adalah pengakuan masyarakat, tetapi apakah masyarakat di daerah lain juga akan mengakui nya? contohnya adalah sesorang dianggap kompeten oleh perusahaan A apakan juga akan dianggap kompeten oleh perusahaan B,C,D Dst?

Untuk itu dibutuhkan sebuah pengakuan yang Valid minimal adalah Syarat - syarat pokok dari pekerjaan tersebut dapat di penuhi oleh ybs sehingga pengakuan kompetensi nya tidak hanya diakui oleh sekelompok orang tapi juga oleh seluruh orang.

hal penting yang saya dapatkan dari pelatihan ini adalah ucapan dari Ketua BNSP saat pembukaan Pelatihan, bahwa justru Kompetensi ini dapat dijadikan sebagai filter dari Globalisasi dimana gempuran Tenaga kerja Asing yang masuk ke Indonesia.

jadi, Indonesia dapat melakukan Uji Kompetensi terhadap Tenaga Kerja Asing yang masuk. dimana yang diujikan tidak hanya kompetensi kemampuan tapi juga kompetensi bahasa.

jika hal ini dilakukan,mungkin kejadian Batam tidak akan terjadi...

jadi seperti halnya ISO untuk perusahaan ada baiknya Uji Kompetensi / Sertifikasi Kompetensi Profesi perlu dilakukan untuk meningkatkan SDM dan yang penting standardisasi Remunerasi dapat dilakukan oleh perusahaan berdasarkan hal tersebut.

Pelatihan yang sangat melelahkan itu cukup membuka mata saya atas Standardisasi kompetensi yang dilakukan BNSP melalui LSP - LSP yang ada...